Thursday, September 17, 2015

Senandung YNWA Untuk Brendan Rodgers


Sudah luka, masih ditambah tersiram alkohol 70%. Perih. Mungkin ini bisa jadi gambaran yang tepat untuk Liverpool FC. Perih bagi pemainnya, manajer, pemilik, supporter asli orang sono, maupun supporter layar TV macam saya dan sebagian Anda.

Penampilan di musim baru yang angin-anginan, baru saja digebuk West Ham, lalu kemarin dihajar Man Utd –musuh besar-, ditambah yang bikin gol termasuk anak kemarin sore pula. Lengkap sudah deritanya. Betapa weekend yang sangat berkesan, bukan?
















image source http://i3.liverpoolecho.co.uk/incoming/article7745833.ece/ALTERNATES/s615/JS44215768.jpg 


Lalu menjadi wajar, jika sebagian pendukung dan yang merasa berkepentingan kemudian bersuara keras. Sangat keras. Menginginkan perubahan cepat, drastis. Ingin revolusi. Berteriak menginginkan Brendan Rodgers diganti. Lalu, seperti yang sudah-sudah, bermunculan wacana-wacana dan nama-nama yang dijagokan menjadi gantinya.

Godaan revolusi itu cukup besar, tentu saja. Apalagi jika bermuara ingatan bahwa Liverpool sudah seperempat abad belum pernah juara liga. Sampai kapan musti menunggu? Another 25 years?

Kekalahan di Old Trafford minggu lalu itu justru membawa ingatan saya kepada Opa Fergie. Atau Sir Alex Ferguson, if you prefer so. Manager terbaik dan terbesar Manchester United. (Sebagian besar tentu mampu berargumen dia yang terbesar di Inggris Raya. Okelah, saya akui. Setelah Bill Shankly, tentu saja).

Empat musim awal yang angin-anginan adalah start Opa Fergie. Hujan makian dan cacian -hingga banner “Tara Fergie” yang terkenal itu- tentu Anda semua masih ingat ceritanya, kan? Kesabaran yang berbuah manis. Sangat manis, tentu saja.

Tidak, saya tidak akan berargumen agar pendukung Liverpool bersabar agar nantinya berbuah manis seperti Manchester United. Basi. Dan buat saya itu insult. Merendahkan.

Soal kesabaran? Di saat yang lain banyak menjadi supporter dadakan karena juara di sana dan di sini, pendukung Liverpool FC malah saya lihat kian banyak dan solid walaupun sekian lama gak juara. Seperempat abad, man!

Saya justru ingat soal alkohol 70% itu tadi. Perihnya sangat, tentu saja. Tapi justru di situlah dia menjadi pembunuh kuman. Tukang antibiotik. Tukang bersih-bersih. Agar luka lekas kering dan menutup kembali.

Sekarang kita ingat-ingat lagi, coba, berapa kali Liverpool tersiram alkohol?

Transfer bintang incaran gagal, bolak-balik. Salah beli pemain, banyak. Kemahalan (banget) beli pemain, check, mungkin ada yang ingat Andy Carrol buat contohnya. Salah jual pemain yang bagus banget, udah pernah, remember Xabi Alonso? Jor-joran di bursa transfer tapi gak ngangkat posisi di liga, been there done that. Ditinggal mendadak sama pemain bintangnya, you name it. Ditinggal mendadak sama pemain (calon) bintangnya yang tiba-tiba bandrolnya gak masuk akal, hello Sterling?

Lalu, 2 musim lalu gelar juara liga tinggal sepelemparan kolor, malah kepeleset. Yang terpeleset Mas G pula, the one and only, the indispensable Captain Fantastic. Ah, kurang perih apa lagi, ha?

Segala macam perih itu, beberapa di antaranya juga terselip kekonyolan yang tidak perlu, yang membuat kita ada di sini hari ini. We stay strong, and we stand the ground. Sudah proven bahwa kita bukan sekedar pendukung loncat sana-loncat sini, dukung yang menang saja, atau dukung yang kaya dan isinya pemain bintang semua.

Hampir semuanya, kita, adalah fans jarak jauh. Yeah, sebagian ada yang beruntung sempat beneran nonton di Anfield dan ketemu langsung sama pemain pujaan. Tapi lebih banyak lagi di antara kita yang mampunya mendukung hanya lewat televisi. Kadang lewat nobar yang mulai rame lagi di warung-warung dan kafe itu.

Militansi terlihat dari koleksi jersey, entah ori maupun kw. Lalu hal-hal lain yang akan dan selalu mengingatkan pada tim kesayangan. Tak sedikit yang merajah tubuhnya dengan gambar Liverbird.

Beberapa mungkin mulai menyadari, justru saat Liverpool kalah, atau pokoknya dalam kondisi tidak menyenangkan, justru di saat itulah pride sebagai pendukung ditunjukkan. Diperlihatkan. Yeah, kita tidak mendukung hanya saat menang saja, kan? Dan, sejarah sudah mencatat, seperempat abad dan gelar juara pun belum terlihat tanda-tanda mendekat, kita tetap loyal.

Jadi, kira-kira, dukungan dan loyalitas seperti apa lagi yang bisa diharapkan Brendan Rodgers dari kita? We’ve prove everything, kan?

Karena itulah, saya tak hendak mengajak Anda untuk mellow, bersabar sekian musim lagi untuk berharap perubahan itu. Saya hanya ingin bilang, ini Liverpool mau dibawa kayak gimana lagi, kita akan tetap support. We stand our ground. Biarpun cuman bisa teriak-teriak di depan layar, Reds is in our blood.

So, sebusuk apapun yang sudah dan akan terjadi nantinya (tentu saja semoga tidak), untuk LFC, akan kami pastikan kami tetap bersama.

You know, Brendan, as long as you with us,
You’ll Never Walk Alone.

***

Selatannya Jakarta, 14 September 2015

No comments: