Sudah luka, masih ditambah tersiram alkohol 70%.
Perih. Mungkin ini bisa jadi gambaran yang tepat untuk Liverpool FC. Perih bagi
pemainnya, manajer, pemilik, supporter asli orang
sono, maupun supporter layar TV macam saya dan sebagian Anda.
Penampilan di musim baru yang angin-anginan, baru
saja digebuk West Ham, lalu kemarin dihajar Man Utd –musuh besar-, ditambah
yang bikin gol termasuk anak kemarin sore
pula. Lengkap sudah deritanya. Betapa weekend yang sangat berkesan, bukan?
image source http://i3.liverpoolecho.co.uk/incoming/article7745833.ece/ALTERNATES/s615/JS44215768.jpg
Lalu menjadi wajar, jika sebagian pendukung dan yang
merasa berkepentingan kemudian bersuara keras. Sangat keras. Menginginkan
perubahan cepat, drastis. Ingin revolusi. Berteriak menginginkan Brendan
Rodgers diganti. Lalu, seperti yang sudah-sudah, bermunculan wacana-wacana dan
nama-nama yang dijagokan menjadi gantinya.
Godaan revolusi itu cukup besar, tentu saja. Apalagi
jika bermuara ingatan bahwa Liverpool sudah seperempat abad belum pernah juara
liga. Sampai kapan musti menunggu? Another
25 years?
Kekalahan di Old Trafford minggu lalu itu justru
membawa ingatan saya kepada Opa Fergie. Atau Sir Alex Ferguson, if you prefer so. Manager terbaik dan
terbesar Manchester United. (Sebagian besar tentu mampu berargumen dia yang
terbesar di Inggris Raya. Okelah, saya akui. Setelah Bill Shankly, tentu saja).
Empat musim awal yang angin-anginan adalah start Opa Fergie. Hujan makian dan
cacian -hingga banner “Tara Fergie” yang terkenal itu- tentu Anda semua masih
ingat ceritanya, kan? Kesabaran yang berbuah manis. Sangat manis, tentu saja.
Tidak, saya tidak akan berargumen agar pendukung
Liverpool bersabar agar nantinya berbuah manis seperti Manchester United. Basi.
Dan buat saya itu insult. Merendahkan.
Soal kesabaran? Di saat yang lain banyak menjadi
supporter dadakan karena juara di sana dan di sini, pendukung Liverpool FC
malah saya lihat kian banyak dan solid walaupun sekian lama gak juara.
Seperempat abad, man!
Saya justru ingat soal alkohol 70% itu tadi.
Perihnya sangat, tentu saja. Tapi justru di situlah dia menjadi pembunuh kuman.
Tukang antibiotik. Tukang bersih-bersih. Agar luka lekas kering dan menutup
kembali.
Sekarang kita ingat-ingat lagi, coba, berapa kali
Liverpool tersiram alkohol?
Transfer bintang incaran gagal, bolak-balik. Salah
beli pemain, banyak. Kemahalan (banget) beli pemain, check, mungkin ada yang ingat Andy Carrol buat contohnya. Salah
jual pemain yang bagus banget, udah pernah, remember
Xabi Alonso? Jor-joran di bursa transfer tapi gak ngangkat posisi di liga, been there done that. Ditinggal mendadak
sama pemain bintangnya, you name it.
Ditinggal mendadak sama pemain (calon) bintangnya yang tiba-tiba bandrolnya gak
masuk akal, hello Sterling?
Lalu, 2 musim lalu gelar juara liga tinggal
sepelemparan kolor, malah kepeleset. Yang terpeleset Mas G pula, the one and only, the indispensable Captain
Fantastic. Ah, kurang perih apa lagi, ha?
Segala macam perih itu, beberapa di antaranya juga
terselip kekonyolan yang tidak perlu, yang membuat kita ada di sini hari ini. We stay strong, and we stand the ground.
Sudah proven bahwa kita bukan sekedar
pendukung loncat sana-loncat sini, dukung yang menang saja, atau dukung yang
kaya dan isinya pemain bintang semua.
Hampir semuanya, kita, adalah fans jarak jauh. Yeah,
sebagian ada yang beruntung sempat beneran
nonton di Anfield dan ketemu langsung sama pemain pujaan. Tapi lebih banyak
lagi di antara kita yang mampunya mendukung hanya lewat televisi. Kadang lewat
nobar yang mulai rame lagi di warung-warung dan kafe itu.
Militansi terlihat dari koleksi jersey, entah ori
maupun kw. Lalu hal-hal lain yang akan dan selalu mengingatkan pada tim
kesayangan. Tak sedikit yang merajah tubuhnya dengan gambar Liverbird.
Beberapa mungkin mulai menyadari, justru saat
Liverpool kalah, atau pokoknya dalam kondisi tidak menyenangkan, justru di saat
itulah pride sebagai pendukung
ditunjukkan. Diperlihatkan. Yeah, kita tidak mendukung hanya saat menang saja,
kan? Dan, sejarah sudah mencatat, seperempat abad dan gelar juara pun belum
terlihat tanda-tanda mendekat, kita tetap loyal.
Jadi, kira-kira, dukungan dan loyalitas seperti apa
lagi yang bisa diharapkan Brendan Rodgers dari kita? We’ve prove everything, kan?
Karena itulah, saya tak hendak mengajak Anda untuk mellow, bersabar sekian musim lagi untuk
berharap perubahan itu. Saya hanya ingin bilang, ini Liverpool mau dibawa kayak
gimana lagi, kita akan tetap support. We
stand our ground. Biarpun cuman bisa teriak-teriak di depan layar, Reds is in our blood.
So, sebusuk apapun yang sudah dan akan terjadi
nantinya (tentu saja semoga tidak), untuk LFC, akan kami pastikan kami tetap
bersama.
You know,
Brendan, as long as you with us,
You’ll Never Walk Alone.
***